Pendahuluan

Pada tanggal 23 Oktober 2019 yang lalu, Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dan melantik 34 Menteri dan 4 Pejabat Setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Ada 3 wajah baru menteri yang menarik dan langsung menjadi bahan perbincangan publik. Ketiganya masih terbilang muda dan berasal dari CEO, atau founder perusahaan. Pertama, Nadiem Makarim yang merupakan CEO Gojek, kedua Erick Tohir yang merupakan pendiri dan CEO Mahaka Grup, dan ketiga Wishnutama yang adalah CEO NetTV. Nadiem Makarim merupakan menteri yang paling sering diperbincangkan saat ini karena ia mewakili generasi milenial yang akrab dengan teknologi digital. Ia dianggap “belum cukup umur”, belum matang untuk mengatasi bidang yang diampunya yaitu pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Keputusan Presiden Jokowi kali ini memang terbilang baru dan berbeda.

Dari kiri ke kanan: Nadiem Makarim, Whisnutama, dan Erick Tohir (sumber foto: BBCNews)

Sebagai CEO Gojek, Nadiem telah berhasil menunjukkan cara memanfaatkan dunia digital (IoT) sebagai teknologi yang menghubungkan tukang ojek, ribuan usaha makanan-minuman, jasa pembersih, jasa membeli tiket bioskop tanpa harus antre,  bahkan jasa dokter hingga tukang pijat; untuk langsung mendatangi pelanggan/penggunanya. Wishnutama juga dikenal dengan program-program baru di NetTV yang lantas diminati oleh generasi muda, serta Erick Tohir yang juga terbilang muda dalam mengelola bisnisnya. Mereka adalah entrepreneur-entrepreneur muda yang mewakili generasinya. Dari ketiga menteri baru yang masih terbilang muda ini, yang paling banyak menuai reaksi pro dan kontra adalah Bos Gojek yaitu Nadiem Makarim. Beberapa kekhawatiran yang muncul di antaranya adalah karena Nadiem tidak paham lika-liku ke-ASN-an, tidak tahu cara berkomunikasi dengan aparat pemerintah, dan bahwa yang dihadapinya saat ini bukanlah perusahaan semata.

Presiden Jokowi menegaskan kembali keputusan tersebut, melalui akun media sosial pribadinya. Pada tanggal 6 November 2019 beliau mengatakan: “Manajemen besar pendidikan di tanah air harus dikelola dengan teknologi tanpa menggeser tujuan pendidikan kita yaitu membangun karakter dan jati diri bangsa. Kita butuh figur yang berani mendobrak rutinitas monoton untuk menghasilkan lompatan kemajuan dalam pendidikan.” Bapak Presiden yakin bahwa Nadiem Makarim adalah figur yang tepat untuk melakukan perubahan, seorang entrepreneur dari generasi milenial yang akan menciptakan terobosan dalam pendidikan dan kebudayaan.

Ekonomi kreatif

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan ide-ide barunya ketika membentuk Kabinet Indonesia Maju, bukanlah sesuatu yang mengherankan. Era Reformasi di Indonesia telah dimulai sejak pertengahan 1998 yang memunculkan iklim “kebebasan” untuk berkreasi dan menciptakan sesuatu yang baru. Negara-negara lain di Asia seperti India, Korea, dan Cina, telah lebih dulu berhasil melakukan terobosan baru dan tumbuh menjadi negara yang kuat dari segi ekonomi dan teknologi. Korean Wave yang muncul di awal 2000-an misalnya, menunjukkan keseriusan pemerintahan Korea Selatan dalam mengelola industri berbasis kreativitas di sana, yaitu musik dan sinema. Perhatian penuh bukan hanya ditunjukkan pada bagaimana mengelola budaya lokal ke tataran global, namun juga sekaligus mengubah sistem pendidikan di Korea Selatan, di mana Bahasa Inggris adalah pelajaran mutlak yang harus dikuasai siswa sejak tingkat Sekolah Dasar. Di India percepatan di bidang teknologi komputer dan nuklir sudah terjadi. Pemerintah Cina pun tak main-main mendukung pertumbuhan manufaktur dengan mengutamakan riset dan teknologi serta kebijakan free trade zone (FTZ). Negara Cina saat ini, menjadi salah satu negara adikuasa di dunia.

Kreativitas telah menjadi basis ekonomi dan industri masa kini. Kreativitas merupakan kemampuan dan pengetahuan dalam bentuk aset tidak berwujud (intangible asset) yang terbukti dapat menghasilkan produk dan jasa yang unik, bernilai, dan bermakna. Kreativitas dipandang esensial bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi (Florida, R., and Goodnight, J., 2005). Pada level individu, tim, maupun organisasi, kreativitas dipandang sebagai kemampuan inti (core capability) dan kontributor bagi kinerja kewirausahaan, pertumbuhan, dan daya saing.

Istilah ekonomi kreatif diperkenalkan pertama kali oleh John Howkins (2001) dalam bukunya “The Creative Economy: How People Making Money from Ideas”. Ide dasarnya adalah kreativitas sebagai basis ekonomi yang baru, menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi kreatif mengandalkan ide, gagasan-gagasan, yang terus-menerus dipikirkan dan kemudian dilakukan (thinking and doing). Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Suatu produksi ide dan penemuan-penemuan yang bersifat personal, orisinal, dan bermakna. Kreativitas mewujud menjadi produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomi.

Kreativitas dapat terjadi dalam sebuah tim yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang berperan penting dan memberikan kontribusinya. Orisinalitas sebagai unsur yang penting, bisa dilihat dari dua sisi: pertama, membuat sesuatu yang betul-betul baru (from nothing to something); dan yang kedua, mengerjakan ulang sesuatu yang sudah ada dengan memberikan nilai tambah yang baru (reworking of something that already exist, or giving character to something). Sejalan dengan ide kreativitas dalam tim atau kelompok ini, Richard Florida (2002) melontarkan ide tentang pentingnya kelas kreatif. Ia menawarkan gagasan baru tentang tiga komponen utama yang harus ada dalam sebuah area/wilayah, yaitu 3T: (i) Talent, (ii) Tolerance, dan (iii) Technology. Florida menjelaskan bahwa keberadaan talenta-talenta yang berpendidikan di suatu wilayah akan menjadi faktor kekuatan terbesar karena interelasi antara mereka dalam proses penciptaan nilai. Selain dari itu, kultur keterbukaan-diversity-inklusivitas, serta penggunaan teknologi menjadi kekuatan berikutnya.

Dalam ilmu manajemen, kreativitas didefinisikan dalam dua cara, yang pertama sebagai sebuah proses, dan yang kedua sebagai sebuah hasil. Jika ingin menghasilkan outcome yang kreatif, penting sekali bagi seorang individu untuk terlibat dalam proses-proses kognitif dan perilaku, misalnya mengaitkan ide-ide berbagai sumber dan pencarian yang luas, yang dapat menolong dan memampukan individu tersebut untuk lebih kreatif dalam pekerjaannya. Sedangkan dalam literatur organisasi, kreativitas dipandang sebagai kondisi penting namun tidak cukup bagi munculnya inovasi.

Perbedaan penting dan mendasar antara kreativitas  dan inovasi adalah, fokus kreativitas ditekankan pada penciptaan sesuatu yang baru dan bermanfaat, sementara inovasi menekankan implementasi dari ide-ide dan prosedur yang baru diciptakan tersebut. Peter F. Drucker (2005) menawarkan ide sumber-sumber inovasi dalam sebuah organisasi, yang berasal dari dalam organisasi (internal) dan dari luar organisasi (eksternal). Drucker berpendapat bahwa entrepreneurship adalah kesiapan terhadap perubahan, bisa berimajinasi mengenai dampak yang dihasilkan, mampu berpikir secara kreatif dan sistematis, serta mengolah data dengan logis. Dalam konteks ini, inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas untuk mencari solusi atas masalah dan menemukan peluang (doing new things). Seseorang tidak perlu pengalaman puluhan tahun untuk menjadi kreatif, namun ada kemungkinan pekerjaan yang sangat kompleks akan membuat seseorang menjadi kreatif.

Orang-orang kreatif biasanya memiliki pola pikir divergen, meskipun pada praktiknya kondisi dapat mengharuskan pola pikir konvergen dan beberapa situasi mengharuskan hadirnya kedua pola berpikir, divergen sekaligus konvergen. Jelaslah sekarang mengapa Bapak Presiden Jokowi melihat potensi dalam diri Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Tohir. Mereka adalah apa yang disebut dengan kelas kreatif, yang terdiri dari individu-individu bertalenta, dapat menggunakan teknologi informasi-digital dengan baik, serta dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Sebelas tahun berlalu sejak era reformasi memberikan iklim kebebasan baru di Indonesia, namun, meskipun pemerintahan silih-berganti, mengapa belum ada atau belum banyak terobosan baru dan solusi kreatif dalam pembangunan di Indonesia? Mengapa pendidikan di negara Indonesia masih menjadi masalah yang utama?

Paradoks kreativitas

Kreativitas menjadi sebuah area riset yang telah berkembang selama bertahun-tahun. Secara historis, kreativitas berakar di dalam bidang psikologi yang menjadi fondasi konseptual dan empiris, yang berfokus pada faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat kreativitas di bidang-bidang yang berbeda (Amabile, 1996). Kreativitas juga memiliki sifat menuntut hadirnya situasi yang bersifat “bebas”, tidak dibatasi, dan fleksibilitas tinggi – karenanya harus didukung sumber daya yang memadai. Dalam bisnis, kreativitas diletakkan pada posisi yang harus bisa dilihat dan dikendalikan dan dipantau. Ini adalah situasi yang disebut paradoks. Paradoks digambarkan sebagai situasi dilematis, polaritas, dan bersaingnya nilai-nilai atau kontradiksi, yang seolah menghilangkan apa yang disebut normal.

Gambar 1. Yin dan Yang

Filosofi paradoks tertuang dalam manajemen dualitas yang berakar pada konsep “Yin-Yang” dalam filosofi Cina klasik, seperti ditunjukkan di gambar 1. Filosofi ini berasal dari dua buku tua Cina yaitu I Cing dan Tao De Ching. Filosofi tersebut didasarkan pada premis bahwa segala sesuatu di dunia mengandung dua elemen bertentangan, yang terpisah, berlawanan dan saling melengkapi. Simbol “Yin-Yang” berfungsi sebagai pengingat bahwa paradoks itu sesungguhnya saling terkait dan saling tergantung. Sering juga simbol “Yin-Yang” dipandang sebagai penunjuk kesatuan dalam kebertentangan atau keberlawanan, keseimbangan, dan kesetimbangan.

Sebagai contoh, ketika sebuah bisnis menghadapi paradoks antara bertransformasi untuk masa depan sekaligus mengamankan posisi pasar hari ini, kepemimpinan menghadapi perubahan itu memerlukan keterampilan baru. Kebangkrutan tingkat tinggi beberapa perusahaan seperti Blockbuster Video dan Borders Bookstore, menggarisbawahi bahwa ekonomi yang lambat memberi hanya sedikit ruang bagi model bisnis yang sudah ketinggalan. Contoh perusahaan-perusahaan yang gagal ini memberi pelajaran, karena tak sanggup beradaptasi dengan laju pesaing-pesaing digital seperti Amazon, Google, Netflix, dan sebagainya, perusahaan-perusahaan tersebut hancur di tahap awal. Abad digital bergerak pada fase yang sangat cepat, dan mengubah pemenang menjadi pihak yang kalah (Leslie, J.B., et al., 2011; Smith, W.K. & Lewis, M., 2011).  

Gambar 2. Situasi Paradoksal dalam Proses Kreatif (Sumber: Hill, L., et al., 2010, 2014)

Paradoks bisa jadi sulit dimengerti dan dijelaskan. Mengelola paradoks berarti membangun pola pikir  di luar (mengatasi) logika. Memahami paradoks akan memudahkan organisasi untuk mengatasi dan mengelolanya untuk kinerja yang lebih baik. Setelah mempelajari kegagalan mengeksekusi kreativitas untuk memajukan inovasi organisasi, Linda Hill dan kawan-kawan (2014) mengidentifikasi inti dari kesulitannya. Tegangan fundamental yang disebut paradoks, melekat pada peran pemimpin. Untuk lebih memahami paradoks sentral dari “melepas” dan “memadukan” ini, Linda Hill dan kawan-kawan  memecahnya menjadi enam paradoks dalam organisasi, seperti diilustrasikan di gambar 2.

Pemimpin yang cenderung di posisi “harness” cenderung membatasi atau bahkan meniadakan kreativitas karyawannya, ia tidak akan pernah sempurna melepas “kejeniusan” karyawannya; sementara yang ada pada sisi “unleash” akan senantiasa berhadapan dengan kekacauan dan tidak pernah menyelesaikan masalah bagi kebaikan bersama. Situasi ini tidaklah mudah, khususnya bagi yang terbiasa dengan gaya top-down, yang memandang konflik dan kehilangan kontrol itu sebagai situasi yang tidak menyenangkan. Bahkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni pun menyadari betapa sulitnya mendukung sisi yang satu dari paradoks tersebut tanpa mengabaikan sisi yang lain. Ilustrasi tersebut menggambarkan ada tugas baru bagi para pemimpin, yaitu senantiasa menciptakan iklim kerja baru, memberi “ruang” untuk berkreasi bagi karyawannya, sambil terus mendefinisikan ulang kebutuhan organisasi serta memodifikasi-menyesuaikan dengan perilaku karyawannya.

Entrepreneurship: mengelola kreativitas, menciptakan solusi-terobosan Baru

Istilah entrepreneurship mula-mula muncul di akhir abad 17, ketika seorang ekonom Irlandia-Perancis Richard Cantillon dan kawannya Adam Smith, mengkaji peran “entrepreneur” dalam mengeksploitasi sumber daya demi memaksimalisasi keuntungan finansial dari sebuah usaha, sebelum konsumen/pengguna memikirkan akan membayar berapa untuk produk-jasa yang ia konsumsi. Ini adalah bagian dari mikroekonomi yang menjadi fondasi ekonomi klasik. Istilah “entreprene” (1775) diterjemahkan sebagai “wirausaha” yang merujuk pada pekerjaan atau usaha yang dimiliki seseorang (self-employment) dan kemampuannya mengambil risiko.  

Joseph Schumpeter (1883-1950) menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengkaji entrepreneurship, ia lebih menekankan pada pentingnya disrupsi dan peran inovasi. Ia mengkritik pasar bebas yang bergejolak di abad ke-19 dan kapitalisme yang berperan dalam pemutusan hubungan kerja. Schumpeter memperkenalkan istilah “creative destruction” atau penghancuran kreatif, bagaimana mengenali kebaikan yang berasal dari kekacauan. Seiring waktu, masyarakat akhirnya mengakui bahwa kehilangan pekerjaan, perusahaan yang hancur, dan industri yang hilang adalah bagian inheren dari kemajuan. Seperti ungkapan “blessing in disguise” ada rasa sakit yang melekat pada keuntungan yang muncul sesudah penderitaan. Misalnya, ada produk-produk baru dengan lebih baik, minggu kerja yang lebih singkat, pekerjaan lebih baik, dan standar hidup makin meningkat. Inilah pengertian baru yang dilekatkan pada makna entrepreneurship masa kini, yaitu paradoks “merusak-menghancurkan” dan kemudian “merakit-membangun” sesuatu yang baru untuk kemajuan.

Entrepreneurship yang diterjemahkan sebagai “kewirausahaan” saat ini sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam daripada berwirausaha (memiliki bisnis atau usaha), atau bahkan “wiraswasta”. Di dalam jiwa seorang entrepreneur terkandung karakteristik “pencipta” (creator), yaitu kemampuan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru, kemampuan untuk “menghancurkan secara kreatif” dan kemudian “merakit-membangun” sesuatu yang baru dalam bentuk penggunaan teknologi baru, cara pikir dan cara kerja baru. Pengertian entrepreneurship tidak hanya diterapkan pada bidang ekonomi saja, namun juga bidang-bidang lain semisal tata-kelola pemerintahan, kebudayaan, dan sebagainya. 

Penutup

Pembelajaran dalam sistem pendidikan di era kreativitas dan digitalisasi, kini menghadapi tantangan dan kesulitan yang belum pernah ada sebelumnya. Pemanfaatan perangkat digital dalam dunia pendidikan hanyalah satu cara untuk mengantisipasi masa depan dunia kerja seiring kemajuan informasi digital itu. Sebuah penelitian terkini tentang cara belajar mahasiswa di era digital, menemukan bahwa: (1) mahasiswa milenial ternyata tidak lagi terlatih membaca, seakan menjauh dari karakter “masyarakat pembaca”, (2) generasi milenial seakan mempercayakan serta menyerahkan kemampuan intelektualitas mereka kepada “Mbah Google” sebagai the god of knowledge, (3) muncul gejala fragmentaris di dunia intelektual mahasiswa, yakni menyerap informasi sepotong-sepotong tetapi tidak bisa mengaitkan potongan-potongan tersebut menjadi gambaran tentang being dan meaning yang utuh (Sugiharto, I.B., et al., 2019).

Dunia pembelajaran siswa kini rawan menjadi objek algoritma, para peserta pembelajaran terjebak dalam awan bit-bit data (data cloud) yang begitu besar. Seperti terjerat di jaring laba-laba, di satu sisi “membatasi” gerakan-gerakan kita, namun pada saat yang sama, di sisi lain dapat “menularkan goncangan” kecil yang kita buat ke berbagai destinasi yang (sangat) luas dan mendunia. Contohnya gerakan #MeToo oleh kaum perempuan yang mengalami pelecehan seksual di seluruh dunia, dan gerakan #ArabSpring sebuah revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Di satu sisi, komponen fragmentaris itu dapat menumpulkan “daya kritis” para mahasiswa, sehingga mereka bahkan bisa menjadi “illiterate” (tidak bisa membaca informasi dengan baik). Daya kritis, sebagai bagian dari intelektualitas yang tipis atau minim akibat tak terlatih membaca buku yang akhirnya membuat ketidaksanggupan menyaring dan memilah informasi yang datang menyerbu setiap detik dalam kehidupan mereka (Harari, Y.N., 2018). Namun di sisi lain, generasi saat ini bisa jadi sangat cerdas karena menguasai teknologi informasi dan dapat memanfaatkannya dengan baik. Contohnya, Mark Zuckerberg yang mengikuti pendahulunya, Bill Gates dan Jeff Bezos.

Ini merupakan kondisi yang lebih kompleks dibanding sebelumnya. “Ketidakpastian” dan “perubahan” adalah variabel yang tetap dan pasti terjadi dalam dunia saat ini. Kemungkinan besar bidang-bidang ilmu  yang dipelajari oleh peserta didik saat ini akan menjadi irrelevan, di tahun-tahun yang akan datang. Lalu apa yang harus diajarkan oleh dunia pendidikan? Banyak ahli pedagogi berpendapat bahwa dunia kampus harus mengajarkan “four-C’: Critical thinking, Communication, Collaboration and Creativity. Dalam kondisi seperti ini, dunia pendidikan dituntut untuk melahirkan terobosan-terobosan baru, sebuah entrepreneurship.

Para siswa sebenarnya membutuhkan kemampuan untuk lebih dari sekadar memahamiinformasi, memilah mana perbedaan antara info yang penting dan mana yang tak penting. Mereka tetap memerlukan bimbingan dan arahan untuk mampu memadukan bit-bit informasi ke dalam sebuah gambaran yang lebih luas atau koheren. Kemampuan yang juga mendesak adalah mengembangkan fleksibilitas untuk berhadapan dengan perubahan,  kemampuan untuk belajar hal-hal baru, dan kemampuan untuk menjaga “keseimbangan mental” di dalam situasi-situasi yang tidak familiar atau tidak stabil. Orientasi pendidikan tidak lagi fokus pada menemukan ide-ide dan produk/jasa baru, namun yang lebih krusial dari semuanya itu pendidikan harus memampukan para mahasiswa menemukan diri mereka sendiri lagi dan lagi. Orientasi ini memunculkan pentingnya kebaruan dalam kebudayaan yang disebut culturepreneurship. Sebuah terobosan dalam cara pandang, cara pikir, serta keterampilan baru untuk menyiapkan para pembelajar menghadapi dan menyesuaikan diri dengan transformasi-perubahan di era ini, tanpa kehilangan nilai-nilai keutamaan dan esensi menjadi manusia (Sugiharto, I.B., et al., 2019).

Referensi

Amabile, T.M., 1996, Creativity in Context, Boulder, CO: Westview.

Drucker, P.F., 2005, Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles, Reprinted by Butterworth-Heinemann Publications, Elsevior, UK.

Florida, R., 2002, The Rise of the Creative Class and How Its Transforming Work, Leisure, Community, and Everyday Life. New York.

Florida R., and Goodnight, J., 2005, Managing For Creativity, Harvard Business Review, July-August Issue.

Harari, Y.N., 2018, 21 Lessons for The 21st Century, Penguin Random House, UK.

Hill, L., et al., 2010, Collective Genius, Harvard Business Review, June Issue.

Hill, L., et al., 2014, The Inescapable Paradox of Managing Creativity, Harvard Business Review, December Issue.

Howkins, J., 2001, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas, Penguin Books, London.

Leslie, J.B., 2011, The Benchmarks Sourcebook: Three Decades of Related Research, Greensboro, NC: Centre for Creative Leadership.

Smith, W.K., and Lewis, M., 2011, Toward a Theory of Paradox: A Dynamic Equilibrium Model of Organizing, The Academy of Management Review, Vol.36 No.2.

Schumpeter, J., 1942, Capitalism, Socialism, and Democracy, New York: Harper & Bros.

Sugiharto, I.B., Purwadi, Y.S., dan Manurung, E.M., 2019, Desain Proses Pembelajaran Mahasiswa di Era Digital, Laporan Penelitian Multidisiplin untuk Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Dr. Elvy Maria Manurung, Dosen Fakultas Ekonomi Unpar. Anggota CHUDS (Center for Human Development and Social Justice) dan Go-Cir (Gerakan oentoek Citarum River) Unpar. Aktif mengajar dan meneliti di bidang entrepreneurship, culturepreneurship, manajemen kreativitas, dan manajemen keuangan.