Mungkin jarang disadari, bahwa yang membedakan ekonomi dari ekologi, atau sebaliknya, adalah akhirannya. Mengapa –nomos? Mengapa –logos? Bahkan sebelum itu, keduanya menginduk pada oikos (“rumah tangga”) yang sama: bumi tempat tinggal kita. Immanuel Kant (1720-1804) mengatakan, “Pikiran … harus mendekati alam supaya diajar olehnya”. Aturan maupun konsep dari manusia harus belajar dari realitas yang kita tinggali ini.

Pada Mulanya adalah ‘Menemukan’

Bubuk kopi yang kita seduh dengan air panas, adalah ujung sebuah perjalanan panjang yang mengagumkan. Siapakah manusia pertama yang menemukan tanaman kopi, hingga berpikir bahwa bijinya dapat dikupas atau dijemur sekaligus dengan kulitnya, lalu dicuci dan disangrai, digiling dan diseduh dengan air panas, menyebarkan aroma wangi yang menenangkan, dan diminum dengan nikmat? Sepertinya tak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimanakah awalnya, sehingga kopi bisa memunculkan karakter fruity, bold, creamy, black-tea, dan sebagainya itu? Rahasia bumi kita memang dahsyat sampai-sampai kita ingin menyerukan bahwa kekayaan seperti itu harus dilindungi. Kekayaan dan inspirasi dari bumi masih akan terus-menerus ditemukan, seandainya saja manusia tidak serba ingin mengatur dan mendominasi segala-galanya.

Lebih daripada kesabaran ketika berhadapan dengan alam, diperlukan rasa hormat dan kebijaksanaan dalam berelasi dengannya. Manusia purba menemukan. Pada waktu itu, rasa hormat terhadap alam masih begitu tinggi. Alam adalah sosok Tuhan yang menyediakan kehidupan, maka dihargai, bahkan ditakuti. Tidak ada keinginan untuk ‘mengatur’ alam, sebab siapakah yang lebih berkuasa daripadanya? Ungkapan “alam murka” hanya terdengar ibarat puisi yang lekas diabaikan di zaman kini, tetapi dahulu, ketika rasa hormat masih tinggi, alam itu memang penuh dengan kuasa.

Seperti sebuah mutiara besar yang sangat indah di dasar lautan, alam menunggu untuk ditemukan oleh manusia. Ia menunggu dan menunggu, sampai suatu saat seorang anak manusia menemukannya dan membelalakkan mata tanda takjub. Apakah pengalaman menemukan seperti itu membuktikan bahwa manusia adalah jenius? Jelas tidak. Wong hanya menemukan kok jenius! Tetapi, sekali lagi, itu membuktikan bahwa kekayaan bumi ini sungguh-sungguh dahsyat. Kreativitas adalah milik semesta, dan di balik itu adalah copyright Sang Penciptanya.

Kita ingin bicara tentang kreativitas, tapi sekaligus mau melepaskan diri dari alam, atau tepatnya, ingin merasa diri lebih superior ketimbang alam. Kalau alam itu adalah tempat tinggal kita – rumah tangga kita – berarti kita lupa bahwa pada dasarnya kita hanya menemukan apa yang sudah selalu ada di sana. Di mana? Di dalam dunia. Celakanya, apa yang sifatnya menemukan terlanjur dipandang primitif. Memakan apa yang disediakan oleh kebun dan hutan dianggap tidak kreatif. Makanan kita semakin tidak natural setiap hari, karena gengsi manusia itu luar biasa tingginya. Mereka yang memakan hasil bumi dengan sesedikit mungkin diolah dianggap orang aneh yang hidup dalam idealismenya sendiri. Ketika merasa tidak mau kalah dari alam, kita mulai menciptakan kultur dan aturan. Tata alami yang ada sejak dunia tercipta mesti diganti, karena kurang ekonomis.

Lalu Manusia ‘Mencipta’

Aturan (nomos) maupun konsep dan sistem pemikiran (logos) sebenarnya tak jauh berbeda, intensinya. Kemenangan Filsafat Modern ialah pada the grand narrative atau Kisah Besar yang dimaklumkan oleh metafisika. Tidak puas dengan apa yang natural maupun fisikal, dasar seluruh keberadaan diabstraksi hingga ke tingkat pemikiran yang entah-untuk-apa-semuanya-itu. Singkatnya, aturan dan konsep adalah kuasa-mencipta manusia yang, sebenarnya, tidak bisa cepat-cepat disamakan dengan kreativitas. Kreativitas mengandaikan suatu kebebasan, sedangkan ketika masuk ke dalam dan tunduk pada sistem tertentu, bagaimana prosesnya hendak disebut ‘bebas’?

Mencipta versi manusia, bukan alam, ialah sebuah kesepakatan. Dari istilah-istilah yang kita ucapkan tanpa berpikir pun sudah ada kesepakatan setidak-tidaknya dari bahasa yang kita pergunakan. Sebelum menciptakan aturan, teori, dan model, kita membutuhkan kesepakatan. Kita membutuhkan komunitas bidang ilmu, untuk bisa berbicara secara masuk akal, dan supaya mereka yang mendengarkan paparan kita bisa mengangguk-angguk dan bertepuk tangan. Semuanya ada di dalam kesepakatan metafisik yang sudah diabstraksi oleh manusia sendiri.

Sampai di sini, kalau begitu, apakah kita menciptakan sesuatu yang baru, hebat, dan berguna untuk kehidupan bersama? Mungkin ya. Akan tetapi, penciptaan atau kreativitas macam itu sifatnya kultural, karena tidak mungkin terjadi di luar sistem dan di luar kesepakatan umat manusia. Ada nada pesimis dalam pernyataan terakhir ini. Benar. Pesimisme yang seperti ini agak lama dihindari komunitas ilmuwan, karena mendemotivasi atau melemahkan semangat. Namun, kalau mau menemukan sisi lain aturan dan konsep kehidupan atau kesejahteraan bersama, orang perlu diinterupsi dari dalam. Kreativitas kita tidak pernah akan sehebat kreativitas alam. Kita mencipta selalu di dalam sebuah kesepakatan komunitas, dan hanya bermakna atau hebat di dalam komunitas manusia. Kenyataannya, realitas itu bukan hanya manusia, berarti seharusnya kegunaan, efisiensi, dan kesejahteraan berlaku dan dialami oleh semua penghuni bumi. Kalau mencoba masuk ke dalam bidang ilmu masing-masing, kita dapat merefleksikan sendiri, dengan lebih jujur, apakah kultur, prosedur, dan konsep yang kita kreasi itu ‘harus’ diterapkan pada seluruh ciptaan di dunia ini. Sekarang pun kita sudah tahu jawabannya: tidak harus. Kreativitas kita tampaknya harus ‘dibatasi’.

Diundang untuk ‘Bekerja Sama’

Bagaimana kalau kreativitas dikembalikan pada seluruh realitas, yang di dalamnya kita termasuk? Bagaimana kalau, seperti disinggung oleh Kant, rasio (pikiran) kita mendekati dunia dan realitas itu supaya diajar olehnya? Implikasi gerakan semacam itu ialah keterbukaan untuk bekerja sama dengan kenyataan, dengan alam tempat tinggal kita ini. Kerja sama membutuhkan penyesuaian. Tanaman bisa dengan cara yang luar biasa menyesuaikan diri dengan pembangunan trotoar yang menutup sebagian ruang bagi akarnya. Kalau begitu, konsep dan aturan yang kita buat atas nama ekonomi kreatif maupun rasio filosofis mesti bisa menyesuaikan diri juga dengan hak hidup realitas selain manusia di sekitar kita. Sekali lagi kita adalah bagian dari realitas. Martin Heidegger juga sampai pada permenungan bahwa manusia sesungguhnya tak pernah berjarak terhadap realitas. Mungkin tidak (perlu) ada dikotomi subjek-objek lagi. Manusia tidak hanya mencipta kultur, sebab ia pun adalah natur. Realitas, dunia dan kita, hanya satu.

Rumah tangga dalam istilah oikos mengandaikan kehidupan bersama. Kebersamaan di dalam realitas yang sama hanya akan berlangsung langgeng kalau ada kerja sama yang kreatif. Interdisiplineritas berbunyi lagi di sini. Tidak perlu ada a priori di antara manusia serta di antara manusia dan alam, sebab intensi setiap penemuan ataupun penciptaan diarahkan pada kesejahteraan baik manusia maupun alam. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, setiap penemuan adalah penciptaan-bersama antara manusia dan “yang lain”, yang bukan manusia.

Apakah kita masih bisa disebut kreatif, setelah beberapa permenungan di atas? Bisa, dan terutama ketika kreativitas itu tetap memuat fleksibilitas, yakni keterbukaan untuk menyesuaikan diri, menyesuaikan aturan ekonomis, konsep filosofis, dan teori-teori ilmiah pada hak-berada seluruh realitas. Kita tidak perlu menindas apa pun atau siapa pun demi mengejar pengakuan publik atas pencapaian kita masing-masing. Ketika temuan-temuan kita “mendapatkan tempat” di masyarakat dan di bumi tempat tinggal kita ini, kita tahu bahwa itulah kreativitas yang didukung oleh realitas. Karena ekonomi adalah kesepakatan dalam pengaturan rumah tangga, kreativitas yang diupayakan dalam pengembangannya bersifat terbatas. Pengertian ini tidak serta-merta membuat kita tidak bebas, sebab mungkin justru membebaskan berkat terbukanya kesempatan untuk bekerja sama dengan lingkungan tempat tinggal kita. Bisa jadi kita justru akan lebih kreatif lagi manakala berusaha untuk lebih fleksibel, berani menyesuaikan diri dengan realitas yang sebelum kita ada, sudah punya tatanan yang sangat kokoh. Kalau selama ini metodologi yang kita gunakan dalam pengembangan model-model perekonomian belum berdialog dengan “tetangga sebelah”, kita bisa membiasakannya mulai sekarang. Niscaya, kita tidak usah berlelah-lelah menyosialisasikan suatu kebijakan, sebab di sepanjang proses, kita sudah bekerja sama dengan rumah tangga kita sendiri.

Dr. Hadrianus Tedjoworo, OSC, S.Ag., STL., dosen teologi dogmatik dan filsafat di Fakultas Filsafat, Unpar. Sarjana filsafat dan teologi Fakultas Filsafat, Unpar; Lisensiat Teologi Dogmatik Katholieke Universiteit Leuven (KUL) Belgia; Doktor Teologi Gereja Radboud Universiteit Nijmegen (RUN) Belanda.