Tahun-tahun belakangan ini Finlandia menjadi bahan pembicaraan dunia. Negeri itu selalu berada di papan atas dalam World Happiness Report. Negeri itu juga selalu berada di papan atas dalam Programme for International Student Assessment. Negeri itu juga selalu di papan atas dalam The Worldwide Educating for the Future Index. Inspirasi apa yang dapat kita petik dari Finlandia?
Saya sama sekali tidak bermaksud membanding-bandingkan Indonesia dengan Finlandia. Keadaan politik-ekonomi-sosial-budaya Indonesia berbeda dengan Finlandia yang berpenduduk sekitar lima setengah juta jiwa itu. Tetapi, barangkali ada inspirasi atau pelajaran yang dapat kita petik dari Finlandia.
Kebahagiaan
The World Happiness Report (WHR), yang dipublikasikan oleh United Nations Sustainable Development Solutions Network,merupakan hasil survei terhadap 156 negeri tentang sejauh mana warga negara mereka bahagia. Finlandia selalu berada di papan atas, bahkan selama dua tahun terakhir negeri itu berada di posisi puncak sebagai negeri paling bahagia di dunia. Meik Wiking, CEO dari lembaga think thank The Happiness Research Institute di Copenhagen, Denmark mengatakan bahwa lima negara Nordik yang berada di urutan atas dianggap telah melakukan sesuatu yang benar dalam menciptakan kondisi yang baik untuk kehidupan warganya. “Mereka sangat pandai mengonversikan kekayaan mereka menjadi kesejahteraan,” kata Meik seperti dikutip The Guardian.
Survei tersebut, yang dilaksanakan oleh Gallup, menggunakan rata-rata tiga tahunan dari enam faktor: pendapatan perkapita, dukungan sosial, usia harapan hidup, kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, kemurah-hatian, dan tingkat korupsi. Finlandia memiliki skor yang bagus dalam semua faktor, terutama kemurahan hati (generosity). Penulis laporan mengatakan bahwa “helping others makes you feel better, but only if you choose to do it”.Hampir setengah orang-orang Finlandia berdonasi secara reguler untuk karitas dan hampir sepertiga mengatakan bahwa mereka menyediakan waktu untuk berkarya secara sukarela untuk suatu karitas pada bulan lalu.
The Happiness Research Institute menggarisbawahi bahwa Finlandia menjadi negeri paling bahagia walaupun pendapatan per-kapita mereka bukan yang paling tinggi. Kuncinya adalah jaring pengaman sosial (social safety net) yang dikombinasikan dengan kebebasan pribadi (personal freedom) dan keseimbangan kerja-hidup (work-life balance). Walaupun orang Finlandia juga merasa khawatir terhadap perkembangan ekonomi global, mereka merasa nyaman dengan lingkungan mereka, sense of community, pelayanan publik, dan pendidikan mereka.
Sebagai bukti bahwa Anda tidak dapat membeli kebahagiaan, Amerika Serikat menempati peringkat ke-19 dalam WHR, turun dari tahun sebelumnya. Ekonom Jeffrey Sachs, satu di antara penulis laporan, mengatakan bahwa keadaan kesehatan yang memburuk dan social trust yang merosot terhadap pemerintah AS, membuat orang-orang Amerika kurang bahagia. Kenaikan pendapatan di AS di-offset oleh peningkatan kecanduan terhadap judi, penggunaan media sosial, video game, belanja, dan konsumsi makanan kurang sehat yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan bahkan depresi.
Pendidikan
Sejak OECD menyelenggarakan Programme for International Student Assessment (PISA)pada tahun 2000, survei tiga tahunan ini selalu menempatkan anak-anak Finlandia pada papan atas, baik dalam membaca, matematika, dan sains. Para pendidik dari berbagai belahan dunia melakukan studi banding ke Finlandia untuk melihat keadaan sekolah-sekolah di sana. Apa yang membuat anak-anak Finlandia berkinerja relatif bagus?
Mike Colagrossi (2018) berargumen bahwa hal-hal berikut ini antara lain yang mendasari kinerja pendidikan Finlandia:
– Tidak ada standar ujian. Semua siswa dinilai oleh guru mereka. Guru-guru di sekolah memiliki otoritas dalam menilai siswa. Kementerian Pendidikan melakukan survei terhadap kinerja siswa berbagai sekolah.
– Tanggung jawab guru. Profesi guru sangat dihargai. Guru di semua jenjang harus berpendidikan minimum magister. Program pendidikan guru merupakan yang paling selektif dibandingkan prodi-prodi lain di perguruan tinggi. Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan profesinya. Jika guru dinilai kurang bertanggung jawab maka kepala sekolah akan melakukan tindakan.
– Kooperasi, bukan kompetisi. Lingkungan sekolah-sekolah bukanlah kompetisi. Tidak ada pemeringkatan siswa maupun guru. Kooperasi merupakan norma.
“Program pendidikan guru merupakan yang paling selektif dibandingkan prodi-prodi lain di perguruan tinggi.”
– Hal-hal dasar sebagai prioritas. Sejak dasawarsa 1908-an para pendidik Finlandia memfokuskan pada hal-hal dasar sebagai prioritas: a) pendidikan hendaknya merupakan instrumen untuk menyeimbangkan ketimpangan sosial; b) semua siswa menerima makan siang gratis dari sekolah; c) kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan; d) konseling psikologis; e) bimbingan masing-masing siswa.
– Wajib sekolah pada usia tujuh. Anak-anak Finlandia wajib masuk sekolah pada usia tujuh tahun. Sebelum usia tujuh tahun, tidak ada kewajiban bersekolah. Akan tetapi, pelayanan daycare dan taman kanak-kanak sangat bagus dan dapat diakses siapa saja walaupun tidak wajib. Wajib belajar hanya sembilan tahun (dari usia 7 hingga 16).
– Ada sekolah menengah atas dan sekolah vokasi. Setelah wajib belajar sembilan tahun, siswa dapat melanjutkan ke sekolah menengah atas (berorientasi akademik umum) atau ke sekolah vokasi (berorientasi vokasi). Setelah itu dapat melanjutkan ke universitas atau sekolah tinggi ilmu terapan.
– Sekolah dimulai sekitar jam 09.00. Sekolah-sekolah dimulai antara jam 09.00 hingga 09.45, dan berakhir pada jam 14.00 hingga 14.45. Jam istirahatnya pun cukup panjang. Hal ini membuat siswa merasa rileks dan dapat bertumbuh matang secara sosio-emosional.
– Instruksi konsisten dari guru-guru yang sama. Siswa-siswa diajar oleh tim guru yang relatif sama selama enam tahun. Dengan demikian, siswa-siswa memperoleh instruksi yang konsisten dari waktu ke waktu, tidak dibingungkan. Guru-guru sangat memahami perkembangan siswa-siswa.
– Atmosfer yang lebih rileks. Pelajaran-pelajaran tidaklah berat, jumlahnya sedikit, tidak membebani.
– Sedikit pekerjaan rumah. Menurut OECD, siswa-siswa Finlandia mempunyai pekerjaan rumah yang paling sedikit dibandingkan negeri-negeri lain.
Finlandia tidak serba sempurna, dan bukan tanpa kritik. Pemerintah Finlandia terus berupaya mencari cara-cara berinovasi dalam bidang pendidikan. Alhasil, dalam The 2018 Worldwide Educating for Future Index (WEFFI),yang ditulis oleh The Economist dan dipublikasikan pada tahun 2019, Finlandia menempati posisi pertama. Sebelumnya, pada tahun 2016 Finlandia meluncurkan eksperimen yang mewajibkan semua sekolah mengadopsi metode pembelajaran kolaboratif berbasis fenomenon (phenomenon-based learning), yang bertujuan untuk mempersiapkan para siswa dalam menghadapi tantangan masa depan secara lebih baik.
WEFFI menggarisbawahi bahwa:
- kemakmuran bukanlah penentu dalam kecakapan-kecakapan masa depan (future skills);
- tinjauan-tinjauan sangat dibutuhkan di tengah perubahan terus-menerus;
- guru-guru harus terlibat dalam pembelajaran berkelanjutan (continuous learning);
- keanekaragaman dan toleransi hendaknya ditekankan sebagai nilai-nilai universal;
- pendekatan-pendekatan yang kaku tidaklah cocok dengan pembelajaran future skills.
Apa yang terjadi di Finlandia tentu saja tidak dapat kita tiru mentah-mentah begitu saja. Tetapi, tidak ada salahnya kita belajar dari mereka, juga dari negeri-negeri lain yang memiliki keadaan, pandangan, dan strategi berbeda. Bagimana menurut Anda? ***
P. Krismastono Soediro, Kepala Kantor Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, penulis sejumlah buku.
Recent Comments