Di awal bulan Maret 2019, saya dikejutkan oleh berita mengenai marketplace usaha kreatif yang berfokus pada kerajinan tangan lokal Indonesia, qlapa.com, resmi ditutup permanen. Alasan yang diberikan oleh qlapa.com pada akun Instagram-nya adalah Qlapa tidak bisa menjadi bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. Berdasarkan misinya untuk pemberdayaan perajin lokal Indonesia, Qlapa yang hampir 4 tahun beroperasi telah membantu penjualan para perajin lokal hingga puluhan miliar rupiah. Selain itu, Qlapa menyebutkan bahwa mereka telah berperan dalam mempromosikan produk-produk buatan tangan para perajin Indonesia.

Klaim tersebut bukan tidak didasarkan dengan prestasi hasil kerja keras usaha mereka. Data dari Daily Social (4 Maret 2019, https://dailysocial.id/post/qlapa-resmi-tutup), Qlapa berhasil memperoleh pendanaan seri A dari modal ventura Aavishkaar Frontier Fund (AFF) dan beberapa investor lain di pre-series funding maupun angel investment. Aplikasi Qlapa telah mendapatkan penghargaan “Hidden Gem” oleh Google Play dan diberi penghargaan sebagai startup dengan pertumbuhan paling menjanjikan menurut majalah Forbes Asia.

Berbagai analisis, komentar, opini (baik positif maupun negatif) timbul. Salah satu analisis yang diberikan oleh Kumparan maupun Daily Social menyatakan bahwa Qlapa kurang dapat bersaing dengan marketplace yang bersifat umum yang sudah menyediakan kolom khusus untuk perajin lokal. Dari sisi penjual (“pelapak”), melalui komentar pada akun Instagram maupun Facebook Qlapa, mereka selanjutnya berupaya untuk menggencarkan penjualan mereka melalui kanal mereka masing-masing. Dari sisi pengguna atau pembeli, banyak yang menyayangkan tutupnya marketplace ini dan tetap akan menggunaan produk-produk perajin lokal Indonesia.

Pernyataan ini, didukung dengan ada atau tidaknya marketplace yang unik seperti qlapa.com, terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan minat masyarakat Indonesia dalam membeli produk kerajinan tangan lokal Indonesia. Berbagai jenis pameran produk kerajinan tangan Indonesia kerap penuh dibanjiri pengunjung. Sebagai contoh, di tahun 2018, berdasarkan laporan dari ASEPHI (Asosiasi Eksportir dan Handicraft Indonesia), Inacraft yang merupakan pameran produk kerajinan tangan lokal terbesar di Indonesia telah menarik 169 ribu pengunjung dan pameran selama 5 hari ini menghasilkan nilai transaksi ritel sebesar hampir 139,7 miliar rupiah dan dikunjungi oleh 1.056 pembeli dari luar negeri (https://asephi.com/en/inacraft-2018-facts-figures/). Selain itu, tren peningkatan minat akan kerajinan tangan lokal ditunjukkan dengan semakin maraknya bazar dan pameran produk kerajinan tangan, seperti Brightspot Market, Pop Up Market, Sunday Market, dan lainnya.

Apakah tren ini menunjukkan kecenderungan peningkatan minat pasar Indonesia (bahkan internasional) akan produk hasil ekonomi kreatif, khususnya kerajinan tangan dan fashion. Bagaimanakah sebenarnya kondisi ekonomi kreatif Indonesia saat ini?

Ekonomi kreatif dan kontribusi dalam pembangunan

Untuk konteks Indonesia, Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai perwujudan nilai tambah dari suatu ide atau gagasan kekayaan intelektual yang mengandung keorisinalan, lahir dari kreativitas intelektual manusia, berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan, serta warisan budaya (Peraturan Presiden RI No. 142/2018, Pasal 1) dan para pelakunya adalah mereka yang melakukan aktivitas kreatif dan inovatif bersumber dari keintelektualan yang bernilai ekonomis dalam sektor ini. Ekonomi kreatif meliputi 16 subsektor, yaitu aplikasi dan game developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi dan video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, dan televisi dan radio. Data dari survey BPS di tahun 2015 (Bekraf, 2016) menunjukkan bahwa persentase kontribusi terbesar di sektor ekonomi kreatif adalah dari kuliner (42,7%) disusul fashion (18%) dan kriya (kerajinan tangan, 15,7%). Sementara subsektor yang tumbuh paling pesat adalah desain komunikasi visual, musik, dan animasi video.

(a) Subsektor dengan kontribusi PDB terbesar
(b) Tingkat pertumbuhan tertinggi

Gambar 1. Tingkat kontribusi PDB dan pertumbuhan subsektor

Sumber Data: Bekraf (2016), Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif Kerjasama Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik, hal. 5

Dalam laporannya, Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025 (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014), ekonomi kreatif diperkirakan dapat menyerap 10-11% tenaga kerja, dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sekitar 1,5-2% per tahun dan peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 3-4% per tahun. Selain itu, ekonomi kreatif diperkirakan memberikan sumbangan terhadap PDB nasional sekitar 7-7,5% dan diperkirakan dapat berkontribusi terhadap penerimaan devisa dengan pertumbuhan sebesar 2-2,5% per tahun.

Hasil survei yang dilakukan oleh Bekraf dan BPS (2016), pada tahun 2015, sektor ekonomi kreatif menyumbangkan 852 triliun rupiah terhadap PDB nasional (atau sebesar 7,38%). Dari kontribusi penyerapan tenaga kerja, dari total penduduk Indonesia yang bekerja (114,8 juta orang), 13,9% bekerja di sektor ekonomi kreatif. Selanjutnya, pekerja pertama kali (new comer) yang bekerja di sektor ekonomi kreatif adalah 542 ribu dengan proporsi sebesar 21,59 persen terhadap seluruh new comer nasional. Hal ini menunjukkan besarnya animo pekerja muda/pekerja pertama kali di sektor ekonomi kreatif ini.

Dari struktur tenaga kerja, tenaga kerja yang bekerja di sektor ekonomi kreatif didominasi oleh perempuan usia muda. Dibandingkan dengan struktur tenaga kerja Indonesia di tahun 2015, terdapat 54% pekerja perempuan (sementara secara umum, proporsi pekerja perempuan adalah 37%) dan terdapat 17,8% pekerja usia 15-24 tahun untuk sektor ekonomi kreatif (proporsi pekerja usia muda atau usia 15-24 tahun secara umum adalah 13,8%). Kebanyakan pekerja ekonomi kreatif perempuan melakukan usaha di subsektor fashion. Para pekerja di sektor ini cenderung bekerja secara formal dengan rata-rata jam kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor lainnya.

Gambar 2. Karakteristik tenaga kerja Indonesia versus tenaga kerja ekonomi kreatif
(Data diolah ulang dari Bekraf (2016), Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif Kerjasama Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik, hal. 9 & 11)

Hasil survei BPS dan Bekraf tersebut menunjukkan bahwa target capaian yang diprediksi dalam laporan 2014 ternyata terpenuhi. Kontribusi PDB nasional dari terpenuhi dan penyerapan tenaga kerja malah di atas prediksi. Selain itu, ekonomi kreatif mampu memberikan lapangan kerja yang lebih inklusif, khususnya bagi perempuan dan pekerja usia muda.

Peran ekosistem bagi para perajin dan pelaku usaha kreatif

Bagi banyak perajin lokal, qlapa.com telah menjadi salah satu kurator untuk mengevaluasi dan menilai kualitas produk mereka. Melalui Qlapa, para perajin kerajinan tangan seperti aksesoris dan perhiasan, alas kaki, alat bawa (tas dan dompet), alat dan perabot rumah tangga, furnitur, hiasan dan dekorasi, serta aksesoris lain diseleksi terlebih dahulu untuk kemudian menjadi salah satu pelaku usaha kreatif yang berhasil.

Peran marketplace sebagai kurator merupakan bagian dari peran ekosistem ekonomi kreatif secara langsung. Marketplace yang merupakan perantara langsung para pelaku usaha kreatif dan menghubungkan mereka dengan pasar menjadi dukungan perlu dan positif bagi perkembangan pelaku usaha kreatif.

Peran ekosistem dalam ekonomi kreatif bukan hanya dalam bentuk marketplace. Hub kreatif dan komunitas merupakan ekosistem penting lain dalam pengembangan dan penguatan ekonomi kreatif.

(Sumber: https://ruangtuju.com/venue/rumah-sanur-creative-hub)

Rumah Sanur Creative Hub di Bali merupakan salah satu ekosistem yang berperan positif mendukung pertumbuhan pelaku usaha di sektor ekonomi kreatif. Sebagai hub bagi para pelaku usaha kreatif, Rumah Sanur yang didirikan pada tahun 2015 menjadi ruang publik yang penting untuk tempat diskusi mengenai aspek sosial, budaya, aspek  global maupun kearifan lokal bagi para pelaku usaha kreatif sekaligus untuk masyarakat publik dan pendukung ekonomi kreatif dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam perkembangannya, Rumah Sanur Creative Hub memfasilitasi To~ko Concept Store. To~ko yang berada di halaman Rumah Sanur ini menawarkan berbagai produk ramah lingkungan. To~ko menjadi rumah bagi lebih dari 150 mitra desain dan menjual produk dan merek yang dibuat oleh UKM dan desainer yang memiliki misi untuk mendorong praktik konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. To~ko Concept Store menggabungkan toko atau ritel dengan pengalaman, di mana proses pembelian memiliki makna yang berbeda dan melibatkan makna filosofis. Pelanggan memiliki kesempatan tidak hanya untuk membeli produk fisik tetapi juga diberikan pengalaman emosi dan sentuhan indera dalam memahami pengalaman menggunakan produk ramah lingkungan. To~ko Concept Store menawarkan gabungan produk yang dibuat oleh bisnis lokal kecil, seniman dan desainer muda. Rumah Sanur Creative Hub mengambil fungsi sebagai kurator untuk menjamin kesesuaian produk dan misi To~ko.

(Sumber: https://gubug-wayang.com)

Yensen Project adalah komunitas didirikan pada 23 November 2004 oleh aktivis sosial yang peduli terhadap lingkungan yang diketuai oleh Abah Novi. Dimulai dengan misi sosial dalam bentuk pengobatan gratis, Yensen Project selanjutnya menginisiasi Museum Gubug Wayang pada 15 Agustus 2015. Museum ini memiliki koleksi wayang atau boneka, yang tidak hanya memberikan filosofi mendalam yang berlaku untuk kehidupan kontemporer tetapi juga menceritakan kisah seni yang mulai berkurang perannya di Indonesia maupun lokal Jawa Timur. Museum ini secara rutin mengelola serangkaian lokakarya untuk menyampaikan keterampilan yang terlibat dalam melakukan boneka dan alat musik. Yensen Project tidak hanya bermaksud untuk mempromosikan budaya tetapi juga untuk menarik lebih banyak penonton dengan menggabungkan drama dengan komedi. Tarian Barongsai mengambil bagian dari pertunjukan sebagai tarian penyambutan sebelum pertunjukan boneka. Pertunjukan boneka Potehi cukup menantang karena kurangnya koleksi boneka dan sulit untuk menemukan “dalang” (master Potehi). Mereka sudah bekerja untuk berbagai kegiatan. Proyek ini berharap bahwa pemerintah dan masyarakat mengakui Potehi sebagai budaya Indonesia. Yensen Project juga mendukung pekerja seni tradisional lainnya, termasuk wayang kulit dan topeng panji. Yensen Project mendukung 13 komunitas di berbagai kota, yaitu Yogyakarta, Semarang, Solo, Tulungagung, Jombang, Mojokerto, dan Malang. Komunitas ini telah berhasil mendorong masyarakat untuk memproduksi produk seni dengan mengumpulkan dan mempromosikan produk mereka melalui berbagai acara dan pertunjukan seni.

Catatan: tulisan ini merupakan tribute bagi sahabat yang mendadak dipanggil Allah Yang Mahakuasa, yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia: Kumara “Kumy” Sadhana. Mas Kumy adalah penggerak dan pelaku ekonomi kreatif yang penuh dedikasi dan memiliki peran yang besar dalam dunia seni dan kreatif. Teman yang tidak pernah merasa lelah … rest in peace, Mas Kumy (19 November 2019). Tulisan mengenai Rumah Sanur Creative Hub dan Yensen Project adalah bagian dari hasil kajian beliau.

Penulis: Catharina Badra Nawangpalupi, Dosen Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal International Council for Small Business Indonesia, dan Data Manager untuk Global Entrepreneurship Monitor (GEM) Indonesia