Indonesia Merdeka

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 12 Tahun 1954 tentang Pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1950. Pemerintah mendorong kalangan swasta untuk berpartisipasi membangun bangsa. “Kemerdekaan mendirikan sekolah-sekolah partikulir leluasa sekali, dan tiap-tiap golongan penganut-penganut suatu aliran dapat mendirikan sekolah-sekolah partikulir, sedang Pemerintah bersedia memberi sokongan”. Sejak tahun 1951 lembaga pendidikan swasta bermunculan, yang didirikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, Kristen Protestan, Katolik, dan lain-lain. Pada waktu itu Pemerintah mendorong partisipasi swasta, dan relatif sangat sedikit mengatur sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.

Selanjutnya, pada dasawarsa 1960-an Pemerintah mulai menata pendidikan tinggi melalui penerbitan Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk: (1) universitas; (2) institut; (3) sekolah tinggi; (4) akademi; (5) bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mulai memberikan “pengakuan” atas eksistensi perguruan-perguruan tinggi swasta. Apabila kualitasnya dipandang bagus maka diberikan “status disamakan” dengan perguruan tinggi negeri.

Pemerintah Orde Baru melanjutkan penataan. Setelah gejolak gerakan mahasiswa awal tahun 1978, pada tahun itu juga Pemerintah menetapkan kebijakan “Normalisasi Kehidupan Kampus”. Sejak itu Pemerintah lebih mengatur pengelolaan perguruan tinggi dalam berbagai hal. Pada pertengahan dasawarsa 1980-an dilakukan perubahan sistem studi menjadi Sistem Kredit Semester (SKS), dan dari dua strata menjadi tiga strata. Sementara itu, perkembangan ekonomi yang pesat membuat Pemerintah mendorong pendirian perguruan-perguruan tinggi swasta untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain menegaskan pengelolaan pendidikan secara terpusat (sentralisasi), dengan pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan dilakukan secara tidak terpusat (desentralisasi). Sementara itu, pada waktu itu telah muncul kesadaran tentang globalisasi, “link and match” antara pendidikan dan dunia kerja, dan pemanfaatan teknologi informasi-komunikasi secara masif.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperkenalkan “kurikulum berbasis kompetensi”. Sementara itu, sistem penjaminan mutu internal dan akreditasi digalakkan. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi swasta untuk mengatur organisasinya, sesuai peraturan perundang-undangan. Adapun di seluruh dunia pembelajaran secara daring (online) menantang pembelajaran secara luring (offline). Belakangan ini di Indonesia muncul kesadaran tentang outcome-based education, yang memerlukan perubahan paradigma para pendidik untuk mewujudkannya. Terakhir, Mas Mendikbud menggemakan semangat “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka”, yang memerlukan langkah-langkah serius untuk mewujudkannya secara nyata.

Syukur atas perjalanan seabad pendidikan tinggi Indonesia. Mari kita melanjutkan perjalanannya, dengan banyak belajar termasuk dari pengalaman dan pemikiran negeri-negeri lain dalam memajukan pendidikan tinggi. ***(PX)

P. Krismastono Soediro, bekerja untuk Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, penulis sejumlah buku populer.