Kecakapan berpikir kritis

(Sumber: seputarilmu.com)

Perubahan pesat dunia karena arus globalisasi bukan berarti tanpa masalah. Manusia juga dituntut untuk mengembangkan kemampuannya menyelesaikan masalah. Berpikir kreatif merupakan salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh peserta didik jika ingin berhasil bersaing di pasar dan hidupnya (Saleh, 2019; Wilson, et al., 2000). Setiap pendidik di jenjang pendidikan tingkat dasar sampai tinggi berkewajiban menyiapkan peserta didiknya untuk memiliki kecakapan berpikir kritis dan kreatif.

Berpikir kritis dalam konteks kecakapan ini tidak sekadar berpikir dan bertanya tentang hal-hal yang perlu diklarifikasi. Kecapakan berpikir kritis termasuk bertanya, menyampaikan ide, memilah dan memilih data, menganalisis, mengevaluasi, menguraikan hasil penelitian, merefleksikan, memformulasikan, mempertahankan gagasan, mendorong kemandirian orang lain untuk belajar, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan (Hughes, 2014). Banyaknya muatan kecakapan ini karena peserta didik dituntut lebih terlibat dan bertanggung jawab dalam dunia global dengan kompleksitas permasalahannya.

Keterlibatan dan tanggung jawab peserta didik misalnya dalam penggunaan media informasi. Media informasi tidak sekadar digunakan tetapi peserta didik diminta untuk bertanggung jawab dalam hal literasi media informasi. Tren penggunaan media informasi dan teknologi dalam pendidikan semakin meningkat. Hal ini memungkinkan mereka untuk tidak hanya mengakses dan menggunakan informasi dengan cara yang etis dan efektif dan untuk mengevaluasi informasi dan konten media secara kritis, tetapi juga memungkinkan penggunaan penuh hak mereka atas kebebasan berekspresi dan informasi. Hak yang mereka gunakan atas kebebasan berekspresi ini terlebih dahulu harus dipahami dan digunakan secara bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab tersebut adalah mencoba mendalami perkembangan media informasi dan kaitannya dengan masalah-masalah sosial kemanusiaan. Literasi digital adalah salah satu pendukung bagi siapa pun yang akrab dengan peralatan teknologi canggih (Smith & Cawthon, 2017).

“Pendidik bertanggung jawab supaya peserta didik memahami bahwa kecakapan berpikir kritis sesungguhnya mempunyai tujuan untuk tidak hanya menyelesaikan persoalan di lingkup pasar global melainkan yang utama adalah semakin menghormati martabat manusia.”

Berpikir kritis digunakan untuk bersama orang lain bekerja sama menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat. Tujuan luhur globalisasi supaya manusia dan bangsa-bangsa semakin sejahtera harus senantiasa dijaga. Di sinilah kecakapan berpikir kritis memegang kendali untuk mengarahkan manusia pada kemajuan yang sesungguhnya yaitu setiap warga dunia semakin menyadari dan menghormati martabat manusia. Kemajuan di segala aspek kehidupan sering membawa korban dan yang paling ditakuti adalah hilangnya hormat terhadap martabat manusia. Salah satu kelemahan manusia yang tampak adalah keinginan untuk mencapai keberhasilan secara instan dengan mengorbankan penghormatan terhadap martabat manusia. Pendidik bertanggung jawab supaya peserta didik memahami bahwa kecakapan berpikir kritis sesungguhnya mempunyai tujuan untuk tidak hanya menyelesaikan persoalan di lingkup pasar global melainkan yang utama adalah semakin menghormati martabat manusia.

Norma dasar yang terpenting adalah martabat manusia. Manusia adalah makhluk yang bebas dan otonom yang sanggup mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah pusat kemandirian, unik, dan tidak pernah tergantikan. Kewajiban untuk menghormati martabat manusia, oleh Immanuel Kant, dirumuskan sebagai perintah: “Hendaknya memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.” (Bertens, 1993).

Martabat manusia mengandung pengertian bahwa manusia harus selalu dihormati sebagai manusia. Bukan kedudukan dalam masyarakat, faktor keturunan, atau sebagainya menjadi alasan terakhir penghormatan terhadap manusia, melainkan semata-mata martabatnya sebagai manusia. Bagi Immanuel Kant, martabat manusia menjadi sumber kewajiban baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain (Bertens, 1993).

(Sumber: andriwongso.com)

Kecakapan untuk menjadi teladan

(Sumber: andriwongso.com)

Kecakapan untuk menjadi teladan jarang disebutkan dalam mempersiapkan peserta didik hidup di abad 21. Di tengah-tengah situasi ketidakpastian dan kompleksitas masalah yang akan dihadapi maka faktor keteladanan menjadi salah satu hal faktor penentu dalam mempersiapkan kecakapan seorang peserta didik.

Keteladanan ini adalah proses yang berlangsung terus-menerus mulai dari anak-anak hingga dewasa. Perkembangan yang dialami oleh seorang peserta didik melalui tahap keteladanan dari figur pendidik yang mereka percaya di sekolah yaitu guru. Keteladanan adalah sikap dan perilaku warga sekolah yang dapat dijadikan contoh untuk mengembangkan karakter peserta didik. Sikap guru yang baik di dalam dan luar kelas menjadi acuan bagi peserta didik untuk menangkap dan memahami konsep pembinaan karakter. Peserta didik akan berupaya menjadikannya sebagai milik mereka sendiri. Keteladanan yang baik tentu akan menangkap simpati dan memudahkan peserta didik untuk memahami, menghayati, dan melakukan apa yang telah mereka alami bersama para warga sekolah yang lain.

Peserta didik pada akhirnya akan menentukan nilai-nilai mana yang mereka lakukan dalam tindakan keseharian. Peserta didik mengamati, merekam, dan menerjemahkan perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh guru atau orang lain sebagai model yang dipercaya (Watson, 2006). Oleh karena itu, guru dan warga sekolah harus meyakini dan mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang mereka ajarkan pada peserta didik.

Para guru juga diminta untuk berperan aktif melibatkan peserta didik berpartisipasi dalam kehidupan sosial di dalam dan luar sekolah. Mereka diajak mengamati fenomena sosial dalam masyarakat dan mempunyai solusi yang tepat menyelesaikan persoalan. Proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi akademik memang diperlukan, akan tetapi proses pembelajaran untuk menimbulkan dan mengembangkan karakter kepedulian lebih diutamakan dan dipentingkan (Sergiovanni, 1994).

Sekolah adalah tempat yang tepat bagi para peserta didik untuk mempelajari, memahami dan melakukan nilai-nilai karakter yang positif. Dalam situasi kultur masyarakat semakin jauh dari penghargaan nilai-nilai kemanusiaan dan moral, sekolah dapat menjadi tempat yang strategis dalam membentuk, melatih, dan mengembangkan semangat kewarganegaraan dalam diri peserta didik melalui penanaman nilai-nilai moral (Koesoema, 2007).

“Guru hendaknya memiliki integritas yang tinggi dalam melakukan fungsi-fungsi, sehingga ia bukan sekadar pandai dalam melakukan transformation of knowledge melainkan juga mampu melakukan transformation of value …”

Pembiasaan atau tepatnya pembudayaan nilai-nilai moral juga mutlak diperlukan dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Pengintegrasian nilai-nilai moral dapat dilakukan dalam setiap mata pelajaran dan tugas-tugas sekolah. Selain itu, seluruh komponen yang ada di sekolah harus terlibat aktif dalam program-program sekolah terutama pembentukan karakter. Guru hendaknya memiliki integritas yang tinggi dalam melakukan fungsi-fungsi, sehingga ia bukan sekadar pandai dalam melakukan transformation of knowledge melainkan juga mampu melakukan transformation of value serta mampu memberikan keteladanan sikap dan perilaku sehari-hari di mata siswa. Perilaku spontan guru terkadang lebih berdampak terhadap pembentukan sikap dan perilaku siswa (Hakam dalam Budimansyah, 2012).

Tantangan berikutnya adalah bagaimana peserta didik dapat menginternalisasikan pengalaman keteladanan yang dialami menjadi miliknya. Setelah melalui proses pertimbangan yang matang peserta didik berani mengambil keputusan untuk menjadi teladan walaupun masih muda.

Penutup

Globalisasi adalah suatu proses sosial yang membawa manusia dan seluruh bangsa makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Fenomena ini menyadarkan kita untuk tidak hanya terlibat aktif dalam globalisasi melainkan juga menyikapi secara kritis bagaimana seharusnya individu, lingkungan, dan negara menyikapi globalisasi sekaligus mempersiapkan pelbagai macam alternatif cara supaya tidak tergusur oleh persaingan global.

Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah globalisasi dapat membuat manusia menjadi lebih manusiawi terhadap manusia yang lain. Masalah-masalah martabat manusia juga menjadi penekanan dalam mengkritisi perkembangan pesat globalisasi. Kecakapan-kecakapan yang diuraikan di atas berkaitan dengan manusia dan relasinya menghadapi persaingan global sekaligus berinteraksi dengan orang banyak. Kecakapan-kecakapan tersebut bertujuan supaya di tengah arus deras globalisasi manusia harus semakin terangkat martabat luhurnya.

No power on this earth can destroy the thirst for human dignity (Nelson Mandela).

Daftar pustaka

  1. Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  2. Budimansyah, D., (Ed). (2012). Dimensi-Dimensi Praktik Pendidikan Karakter. Bandung: Widya Aksara Press.
  3. Friedman, T.L., (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Farrar, Straus, and Giroux.
  4. Koesoema, A.D., (2012). Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
  5. Harrison, L.E. and Huntington, S.P., (2000). Culture Matters How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.
  6. Hughes, J. 2014. Critical Thinking in the Language Classroom.https://www.ettoi.pl/PDF_reosources/Critical_ThinkingENG.pdf
  7. Mappalotteng, A.M., (2011). “Paradigma Pendidikan Berwawasan Global dan Tantangannya.” Jurnal Medtek. 3. (2)
  8. Saleh, S.E., (2019). Critical Thinking as A 21’st Century Skills: Conception, Implementation and Challenges in the EFL Classroom. European Journal of Foreign Language Teaching. 4. (1).
  9. Sergiovanni, T.J., (1994). Building Community in Schools. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
  10. Smith T., Cawthon, T.W., (2017). “Generation Z Goes to College”. College Student Affairs Journal. 35. (1)
  11. UNESCO. (2014). Learning to Live Together. Education Policies and Realities in the Asia-Pacific. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
  12. Watson, M., (2006). Long-Term Effects of Moral/Character Education in Elementary School: In Pursuit of Mechanism. Journal of Research in Character Education. 4 (1&2).
  13. Wilson, C.; Miles, C.; Baker, R., Shoenberger, R. 2000. Learning Outcomes for the 21st Century: report of a community college study. League for Innovation in the Community College

Pst Fransiskus Samong, OSC, Direktur Eksekutif Yayasan Salib Suci.

Sumber gambar utama: shutterstock